KETIDAKADILAN GENDER DAN NAFAS FEMINISME DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SURBAN
KARYA ABIDAH EL KHALIQY
A. Pendahuluan
Wanita merupakan obyek menarik untuk dibicarakan karena makhluk yang satu ini seakan tidak henti-hentinya menjadi objek perdebatan dan perbincangan, baik di dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar, maupun di dalam pembicaraan – pembicaraan tidak formal. Pada satu sisi, wanita harus bertarung dengan dirinya sendiri; antara keinginan dan kemampuan, antara harapan dan kenyataan. Pada sisi lain, kemampuan yang dimilikinya sering terhambat oleh hegemoni budaya yang meletakkan wanita sebagai obyek dan sebagai makhluk setelah laki-laki. Dari fenomena ini akhirnya melahirkan gerakan –gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak yang sampai kini harus diperjuangkan.
Perjuangan ini dilakukan baik oleh pihak wanita sendiri maupun oleh pihak laki-laki melalui berbagai macam media. Karya sastra adalah salah satu media yang dipakai untuk memperjuangkan dan mengampanyekan persamaan hak wanita. Gerakan feminis dalam novel-novel Indonesia menjadi salah satu ciri dari sastra mutakhir. Hal ini dapat di lihat dengan banyaknya karya sastra yang lahir akhir-akhir ini yang bernafaskan gerakan perempuan.
Dari uraian diatas, kajian wanita dalam karya sastra menarik dan perlu dilakukan. Hal ini akan memperkaya konsep wanita ideal atau sebaliknya. Selain itu, hasil kajian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pada perkembangan sastra mutakhir di
Indonesia, khususnya mengenai konsep wanita dalam karya sastra.
B. Tentang Feminisme: Semacam Provokasi
Feminisme, sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria. Feminisme lahir oleh kondisi dan keadaan yang harus diterima oleh kaum perempuan dalam bentuk penindasan, peminggiran hak, kesenjangan hak, dan berbagai bentuk pelecehan lainnya.
Simone de beavoir, walaupun bukan pengarang feminis pertama yang melahirkan gender, hegemoni dan budaya, namun ia telah melakukannya dengan begitu tajamnya. Sehingga pandangan-pandangannya tetap berlaku hingga sekarang. Dalam penghancuran Gerakan perempuan di Indonesia, Saskia Eleonora Wieringa mengutip pemikiran Simone tentang gender yang tertuang dalam The second Sex (1974). Didalam The Second Sex, Simone mencela determinisme biologis yang waktu itu merupakan cara teorisasi tentang pembedaan antara seks-seks yang dominan. Ide bahwa alam ialah takdir, bahwa perempuan karena daya pro-kreatif mereka, ialah bertanggung jawab terhadap rumah tangga, terhadap pengasuhan, dan pemeliharaan anak. Walaupun tidak menggunakan gender, Simone menegaskan bahwa orang tidak dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi menjadi seorang yang mengintrodusir ide bahwa jati diri orang ialah suatu konstruksi budaya, dan bukan suatu ketentuan lain.
Perjuangan perempuan melawan keterikatan pada hubungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibandingakan dengan laki-laki merupakan perjuangan sepanjang hidup, demikian kata Mansur fakih dalam transformasi Sosial. Perempuan Indonesiamempunyai kesulitan dan pengalaman getir yang sama seperti saudara-saudaranya di negara-negara terbelakang yang masih mempertahankan patriarki. Patriarki atau struktur sosial kekuasaan yang menempatkan kekuasaan terpusat di tangan laki-laki juga bergandengan dengan sistem budaya, ekonomi, sosial dan budaya, demikian kata Ivan Illich.
Perjuangan perempuan itu menuntut adanya solidaritas yang utuh antar sesama perempuan bila ingin melawan kekuasaan patriarkal. Solidaritas yang utuh, menurut Meiwita P Budiman (2001), berarti perjuangan melawan subordianasi perempuan serta menuntut persamaan agama, etnik, ras atau kelasnya. Bagi perempuan dengan agama apapun, kaya atau miskin, pelanggaran hak seksualitas dan reproduksi merupakan kriminalitas pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, meskipun terjadi dalam lingkungan rumah tangga.
Masih menurut meiwita P Budiman, perjuangan feminisme mencoba menguraikan akibat sistem patriarkal seperti tidak adanya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, apalagi soal seksualitas dan repoduksi. Anak perempuan harus mengalami dilema pertumbuhan fisik, mental dan sosial sendirian, tanpa bisa bertanya dan mendapat perlindungan. Perkawinan usia muda, karena memenuhi keinginan orang tua bermenantu anak orang terpandang merupakan bentuk lain pelanggaran hak anak yang sering tidak disadari orang tua. Status sosial keluarga terpandang tidak menjamin tidak adanya standar ganda dalam perilaku seksualitas anggotanya.
Feminisme semakin menemukan signifikasi ketika ternyata diskriminasi peran sosial anak perempuan sudah ditanamkan sejak usia akil baligh melalui pendapat bahwa menstruasi itu kotor maka perempuan tidak boleh ke masjid. Tradisi dan wejangan tentang kewajiban istri melayani suami tidak menekankan kewajiban suami untuk melindungi istri. Apalagi menyinggung hak perempuan untuk menikmati hubungan seksualitas tanpa rasa paksaan atau takut. Tidak heran kalau sebagian besar tindak kekerasan dalam rumah tangga terkunci rapat di balik pintu kamar tidur, tanpa pertolongan dan tanpa bentuk nyata kepedulian aparat pemerintah.
Disisi lain, para suami berhak untuk poligami tanpa memenuhi persyaratan yang sebenarnya ada dalam aturan main menurut Islam. Mungkin perempuan perlu lebih kritis untuk menyadari bahwa ukuran keadilan dalam poligami seharusnya dinilai oleh perempuan sendiri, bukan oleh laki-laki.
Karena itu, sesungguhnya perempuan yang menderita hanya karena terbelenggu impian buruk untuk dapat memenuhi gambaran ideal harapan masyarakat. Dalam pandangan feminisme, perempuan harus menyadari bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri yang perlu dihargai dengan setinggi-tingginya, jauh lebih tinggi dari rasa malu karena harus lari dari tindak kekerasan di rumah tangga atau menjanda. Perempuan harus mampu membuat pilihan dan menyiapkan diri untuk maju mandiri. Tidak ada kata lain, agar kaum perempuan dapat berdaya dan bebas dari penindasan, selain dengan belajar dan terus belajar, mencerdaskan dirinya.
C. Sosiologi Sastra: Sebuah Pendekatan
Karya sastra merupakan anak kandung dari sebuah zaman ketika karya itu dilahirkan. Sastra bisa menjadi catatan otentik dari sebuah zaman. Di sisi lain, karya sastra pun bisa merupakan respon atas perkembangan suatu zaman, dan dengan begitu, karya sastra bisa menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan suatu zaman.
Ketika suara-suara perempuan makin nyaring menuntut pemenuhan hak-hak mereka yang selama ini diingkari, maka karya sastrapun bisa menjadi catatan otentik dari suara-suara nyaring itu. Karya sastra juga bisa merespon tuntutan itu, mungkin memepercepat keberhasilan atau menjadi penghalang suara-suara itu.
Beberapa novel menyinggung proses pelecehan terhadap keberadaan kaum perempuan dan hak-haknya, serta perjuangan untuk membebaskan diri dari itu semua, seperti Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ( Ahmad Tohari), Bekisar Merah ( Ahmad Tohari), Perempuan di Titik Nol ( Nawad El Sadawi), Bumi Manusia ( Pramudya Ananta Tour), Rumah Kaca ( Pramudya Ananta Tour), Gadis Pantai ( Pramudya Ananta Tour), Saman ( Ayu Utami ), dan Perempuan Berkalung Surban ( Abidah El Khaleiqy).
Penelitian ini secara khusus akan menemukan benang merah adanya bentuk-bentuk pelecehan dan penindasan terhadap kaum perempuan dengan nafas perjuangan feminisme para pelakunya. Untuk menemukannya, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Menurut Wolf dalam Faruk (1994), sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan secara baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan hubungan antara seni atau kesusastraan dengan masyarakat.
Dalam Faruk, dari wellek dan Warren, Sapardi (1978) menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiolgi sastra, yaitu soiologi pengarang, sosilogi karya dan sosiologi pembaca. Dari Ian Watt, Sapardi juga menemukan tiga macam pendekatan yang berbeda, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra.
Penelitian ini secara khusus akan mengkaji novel Perempuan Berkalung Surban dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra ala Ian Watt dengan pendekatan sosiologi sastra yang kedua, yaitu sastra sebagai cermin masyarakat (mimetis).
D. Ketidakadilan Gender dan Nafas Feminisme
dalam Perempuan Berkalung Surban
Perempuan Berkalung Surban tulisan Abidah El Khaliqy menggambarkan secara jelas dan lugas proses-proses marginalisasi perempuan. Melalui Anissa, putri seorang kiai di sebuah desa, yang menjadi tokoh sentral dalam perempuan Berkalung Surban, Abidah mencoba menggambarkan bagaimana sub-ordinasi perempuan itu berlaku sejak fase kanak-kanak hingga dewasa.
Ketidakadialan gender atau “pengebirian” terhadap hak-hak kaum perempuan terjadi sejak masa kanak-kanak. Proses itu terjadi dalam pola pendidikan dalam keluarga, sekolah dan juga masyarakat.
Melalui Perempuan Berkalung Surban, Abidah El Khaliqy ingin memotret realitas sosial dalam masyarakat, melalui sosok Anissa. Anissa kecil yang ingin belajar dan mengetahui banyak, terpaksa harus menghadapi beberapa benturan dan hambatan, di mana kaum perempuan belum mendapatkan hak-hak kesejajaran dengan kaum laki-laki.
Perhatikan kutipan berikut ini:
“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedok?”
“Iya. Memangnya kenapa, pak? Tidak boleh? Kak Rizal juga belajar naik kuda.”
“Ow..ow..ow..jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan kepadamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakamu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas anak perempuan kok naik kuda, pencilaan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hh!!!”
(hlm 06)
Dalam kasus lain, Annisa harus mendapat realitas bahwa ternyata penempatan wanita sesuai “kodratnya”, ternyata juga disebarkan dan didoktrinkan melalui bangku-angku sekolah, bahkan sejak sekolah dasar. Annisa kecil yang sedang belajar, mendapatkan pelajaran Bahasa Indonesia yang berbunyi:
A-yah per-gi ke kan-tor
I-bu me-ma-sak di da-pur
Bu-di ber-ma-in di ha-la-man
A-ni men-cu-ci pi-ring
(hlm 10)
Annisa kecil sebenarnya tidak menerima kenyataan yang menimpa kaumnya itu. Apa yang dialaminya di sekolah itu, sampai kini pun masih terjadi di bangku-bangku sekolah; bagaimana sejak dini kita seperti harus menerima kenyataan; bahwa laki-laki secara kodrati adalah berada di wilayah publik, sedangkan kaum perempuan berada di wilayah domestik.
Apa yang dialami Annisa kecil menimbulkan pertentangan batin baginya. Annisa kecilpun bertanya pada ibunya:
“Coba ibu jawab. Berapa jam seorang perempuan dapat menyelesaikan kewajibannya dalam sehari. Ayo!”
“Yah… tergantung, Nisa.”
“Tergantung apa Bu?”
“Tergantung kepandaian dan kecakapan wanita mengatur waktu.”
“Waktunya untuk melaksanakan kewajiban itu pagi saja atau siang saja Bu?”
“Yah ada yang pagi, ada yang siang, ada yang sore, juga malam.”
“Jadi…seharu semalam dong.”
“Memang begitu. Ada
apa Nisa? Pertanyaanmu kok aneh?”
(hlm 13-14)
Menghadapi realitas itu, melalui Annisa kecil, tampak sekali keinginan untuk terbebas dari penindasan dan ketidakadilan gender. Lihatlah misalnya, ketika terjadi dialog antara Annisa dengan Maimunah, seorang santri putri yang mengajari qira’ah Annisa. Ketika Annisa protes ketidakadilan yang diterimanya dibandingkan kakak-kakaknya, Annisa menerima penjelasan harus menerima apa adanya. Padahal, menurutnya, kakak-kakaknya adalah orang pemalas, sedangkan dirinya justru harus banting tulang mencuci piring, menyapu, memasak dan masih juga belajar.
“Benar mbak. Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur. Sementara Nisa harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara Rizal dan Wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shalat subuh.”
“Eh Nisa. Orang pemalas tidak perlu dicemburui. Lagi pula, Nisa kan
perempuan. Perempuan itu memiliki kewajiban untuk belajar mengurus rumah tangga. Itu semua baik untuk masa depan, Nisa.” (hlm 21)
Annisa bukannya tidak mendapatkan teman mengadukan keluh kesahnya, sebaliknya, Annisa kecil telah menemukan seorang Lek Khudori, yang dikaguminya baik secara fisik maupun kecerdasan. Dalam kutipan berikut, akan tampak sekali peran-peran yang dilakukan oleh Lek Khudori dalam membimbing dan mengarahkan Annisa kecil. Berbeda dengan kedua orang tua Annisa, dan juga para santrinya, Lek Khudori cenderung menggunakan proses-proses dialogis dalam menjelaskan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Annisa kecil.
Dalam kasus berjilbab misalnya. Lek Khudori dengan seluruh wawasan keagamaan yang didapatnya di pesantren, mencoba menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh Annisa kecil. Berikut kutipan contohnya:
“Itu sama dengan seorang laki-laki yang bertamu ke suatu tempat dengan menggunakan cawat. Memang tak ada larangan, tetapi rasa kesopanan dan keindahan manusia secara umum tidak mnghendaki itu. Kondisi, tempat, dan alasan-alasan lain membuat segala sesuatu tidak memiliki hukum yang tetap.”
“Misalnya, Lek”
“Jika Nisa sedang mandi di kamar mandi, pasti Nisa telanjang. Dan kamar mandi pastilah berbeda dengan sekolah, masjid, supermaket atau lapangan sepak bola.” (hlm 47).
Novel ini juga menggambarkan betapa proses peminggiran kau perempuan itu juga didukung oleh sebagian kaum agamawan. Mereka, kaum agamawan itu memanfaatkan dalil-dalil keagamaan, misalnya ayat suci untuk dijadikan justifikasi pendapatnya. Dalam novel ini dicontohkan bagaimana para kiai dan pengasuh pasantren menggunakan kitab sebagai justifikasi atas pendapat-pensapat mereka, tentang peran dan kedudukan lelaki dan perempuan.
Annisa kecil yang mengikuti kajian kitab di pesantrennya, harus menghadapi kenyataan pahit bagi kaumnya, bahwa ternyata banyak dalil-dalil yang justru digunakan oleh kalangan agamawan untuk menjustfikasi pendapatnya.
Dalam banyak hal, akibat dari keadaan atas, perempuan menjadi kalah kelas di hadapan Tuhan. Sebutlah misalnya bagi kaum perempuan yang sedang menstruasi. Dalam agama di katakan, jika perempuan sedang menstruasi, mereka diharamkan menunaikan banyak ibadah sepeti shalat dan puasa.
Kutipan berikut akan menjelaskan masalah tersebut:
“Tersebutlah dalam kitab bahwa perempuan itu memang manusia, tetapi kurang sempurna akal dan agamanya. Terbukti bahwa akal laki-laki melebihi perempuan, kata ustadz Ali yang menjadi badalnya bapak. Entah melebihi dalam hal apanya aku kurang paham…” (hlm 70-71).
“Jika perempuan sedang menstruasi, mereka diharamkan menunaikan banyak ibadah seperti shalat dan puasa. Maka berkuranglah agamanya…”(hlm 72)
“Tetapi bukan hanya itu. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang masuk masjid. Padahal Wak Tompel yang setiap malam minum tuak dan berjudi di kedai yu Sri, tidak dilarang untuk tidur menggelosor doi dalam masjid dan tak seorangpun berani mengatakan ahwa itu haram. Demikian juga Wak Burik, blantik sapi yang membuka praktik rentenir itu, sering juga datang dan ngorok dengan mulut berbusa di dalam masjid…” (hlm 73)
Selain itu, anak-anak perempuan juga telah dikenalkan tentang “kodrat” yang harus mereka jalankan ketika mereka dewasa kelak. Dalam budaya masyarakat patriarkhi, kaum perempuan secara eksplisit akan dididik untuk bersiap-siap menjadi orang yang siap berumah tangga dan melayani suaminya. Dalam banyak kasus, tindakan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya dianggap sebagai satu hal tercela. Fenomena ini juga masih didukung oleh dalil-dalil yang “didasarkan” pada agama.
“Perempuan yang mengambil harta suaminya tanpa seizinnya, ia memikiu dosa seperti dosa tujuhpuluh ribu pencuri.”
“Perempuan yang mengeraskan suaranya terhadap suaminya, maka segala sesuatu yang terkena sinar matahari akan melaknatinya.”
“andaikata kedua hidung suami mengalir darah atau nanah, lalu sang istri menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Kalau manusia boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan itu untui bersujud kepada suaminya.” (hlm 77).
Dalam hal memilih jodoh atau pasangan hidup pun, perempuan serin mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ketika seseorang datang untuk melamarnya, masih sering terjadi keputusan diterima atau tdaknya keputusan itu tidak melibatkan ank gadisnya. Dalam kata lain, orang tua mengambil keputusan sepihak untuk menerima atau menolaknya. Seringkali, sikap orang tua yang bersikap sepihak dalam memutuskan perkara ini, lebih didasarkan atas keinginan untuk memiliki menantu dari keluarga terpandang
“Tetapi anak perempuan kan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, cukup jika telah mengaji bebeapa kitab… Kami juga tidak terlalu keburu ya…mungkin menunggu sampai si Udin wisuda kelak. Yang penting…kita sepakat untuk saling menjaga. Mengenai kapan dilangsungkannya pernikahan nanti kan
bisa dirembug lagi. Bukankah begitu pak Han? Kita ini kan
sama-sama orang tua…,” suara laki-laki sang tamu mempengaruhi.(hlm 90).
Di masyarakat pun kerap kali terjadi, anak-anak perempuan yang sudah memasuki masa baligh, dari mengeluarkan darah kotor (menstruasi) sebagai peristiwa alam, namun mereka tidak siap menghadapi siklus bulanan itu. Hal seperti itu digambarkan dengan cukup jelas dalam kasus “datang bulan”-nya Annisa kecil.
“Dua hari kemudian, setelah kepalaku berputar dalam pusaran kebimbangan, aku dikejutkan oleh bercak-bercak darah merah yang menempel pada celana dalamku. Membuatku ketakutan dan panik. Kuingat semua aktivitasku pada hari itu, terutama urusan panjat-memanjat pohon. Rasanya tak ada pohon berbahaya yang telah kupanjat dan aku tak main loncat-loncatan yang cukup berarti untuk membuatku berdarah. Tetapi ada apa? Antara takut, was-was dan malu, kudatangi ibu untuk menanyakan perstiwa yang baru kualami itu.”(hlm 92).
Parahnya, kadangkala, penjelasan yang diberikan orang tua atas pertanyaan yang disampaikan anaknya, juga kurang memuaskan bagi anak serta tidak menyentuh substansi permasalahan yang ditanyakan.
“Selesai bicara dan memberi sedikit kursus untuk menjaga darah haid, ibu segera bangkit dari tempat duduknya dan tergesa menuju ruang tamu. Sama sekai aku tidak puas dengan keterangan ibu. Yang ingin kuketahui sebenarnya, apakah darah haid itu? Mengapa dikatakan sebagai darah kotor? Lau daraah yang bersih itu yang bagaimana? Dan apakah laki-laki juga mengalami menstruasi? Mengapa pula perutku jadi mual seperti ini? Ada
apa dengan wajahku yang pucat pasi ini? Mengapa tangan dan kakiku menjadi dingin berpeluh keringat? Dan perasaan apa yang tengah kurasakan? Ingin marah dan gelisah tak menentu? Terasa da sesuatu yang hendak menguap dari tubuhku tapi tak ada. Semuanya membuatku kegerahan sekalipun udara begitu nyaman “(hlm 94).
Penderitaan yang dialami perempuan masih berlanjut ketika mereka memasuki masa berkeluarga. Pernikahan yang mereka lakukan, kadangkala justru memasukkan kaum perempuan ke dalam keadaan yang lebih memprihatinkan. Annisa adalah potret nyata kaum perempuan yang mengalami derita di awal-awal usia perkawinannya. Bahkan, penderitaan itu sudah dimulai dari malam pertama pernikahan mereka.
Kewajiban seorang istri untuk melayani suami, yang selalu diajarkan orang tua kepada anak-anak perempuan seperti menjadi senjata ampuh para lelaki untuk melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan. Kewajibam istri melayani suami, tidak diikuti oleh kewajiban sumi untuk melindungi istri. Kondisi ini juga diperparah ketika ternyata perempuan-perempuan itu berpendidikan rendah dan lebih bodoh dari suaminya. Dalam kondisi inilah, seringkali para suami akan menggunakan kepintarannya untuk menindas para istri.
Demikianlah, Anisa pun menjadi cermin nyata kondisi mengenaskan kaum perempuan itu. Anisa yang hanya lulusan SD harus menghadapi Samsudin, suaminya yang seorang sarjana dan putra seorang Kyai terpandang.
“Otakku suda penuh dengan ilmu. Jadi jangnan tambah lagi demngan sesuatu yang tidak berguna dari mulutmu, nanti bisa pecah”.
“Kupikir yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna, bukan sesuatu yang keluar dari mulutmu. “
“……..dan seperti harimau lapar tengah berhadapan dengan mangsanya, ia menggeram untuk kemudian mencekik leherku dengan kuat sambil mengeluarkan sumpah serapah tujuh turunan dan kata-kata makian yang diambil dari kamus kebun binatang. Setelah menampar, mencekik dan menjambak rambutku dengan penuh kebiadaban, setelah melihat tenagaku lemas tak berdaya, ia pergi sambil meludahi wajahku berkali-kali.” (hlm 104-105).
Apa yang dialami oleh Annisa ini seperti ingin membongkar potret yang disembunyikan dalam kamar dan rumah-rumah, di mana para istri harus menghadapi kenyataan yang dihadapinya berupa kekerasan yang diterima dari para suami.
Para
istri itu, dengan alasan malu ataupun takut, serngkali tidak bisa berbuat apa-apa bahkan sekedar melaporkan pada pihak yang berwajib, atas kekerasan yang mereka terima.
Para
istri, dengan alasan menjaga harmonisnya sebuah rumah tangga, harus rela memendam kepedihan-kepedihan dan penderitaan.
Tak hanya itu, bahkan dengan adanya layanan yang baik yang telah diberikan para istripun seringkali para suami masih juga bermain dengan perempuan lain di luar rumah alias selingkuh. Bahkan tak jarang para suami dengan terang-terangan membawa perempuan lain ke rumahnya, di hadapan mata dan hidung para istri nya. Demikian juga dengan Samsudin, suami Annisa.
“Pada suatu saat, seorang dari para janda itu dan mengadukan perilaku Samsudin yang telah menghamilinya. Ia minta pertanggungjawaban Samsudin untuk menikahinya” (hlm 116).
Pemecahan atas masalah, itu kemudian justru menambah penderitaan para istri. Jalan keluar paling sederhana atas perbuatan Samsudin itu, dengan persetujuan orang tuanya, adalah dengan menikahi janda tersebut. Dalam kata lain, Samsudin akan memadu Annisa dengan janda yang dikemudian hari diketahui barnama Kulsum.
Hubungan dua istri dalam satu rumah, dapat ditangkap dengan jelas malalui hubungan Annisa dan Kulsum dalam satu rumah. Kulsum yang merasa sebagai seorang istri mampu melayani suami, akhirnya mengambil alaih semua tugas-tugas rumah tangga,keuangan dan melayani suami. Bahkan, seringkali antara Samsudin dan Kulsum melakukan hubungan badan di hadapan Annisa. Namun begitu, karena muak, Annisa tidak merasa cemburu atas perbuatan keduanya.
Namun akhirnya, Annisa mengetahui bahwa ternyata Kulsum juga mengalami penderitaan yang terus disembunyikannya. Pada saat seperti itulah, Annisa memerankan diri sebagai orang yang berkewajiban untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan. Melalui sebuah dialog, Annisa mengingatkan Kulsum pentingnya hubungan suami istri yang seimbang.
“Sebenarnya aku tidak menghendakinya. Mas sam-lah yang menyuruhku begini-begitu. Kalau aku tak mau mengikuti keinginannya ia mengancam akam menceraikanku. Jadi apalah dayaku.”
“Seseorang tidak bisa disalahkan atau dbenarkan jika melakukan sesuatu dalam kondisi terpaksa. Tetapi kita harus memiliki sikap yang jelas terhadap sesuatu. Bukankah begitu mbak Kulsum?” ( hlm 119).
Perjuangan untuk menempatkan kaum perempuan sebagaimana mestinya, harus dimulai dari yang paling dekat. Setelah dimulai dari diri sendiri, harus dimulai dari lingkungan keluarga. Dan itulah yang dilakukan Annisa ketika melihat penderitaan yang dialami Kulsum.
“Aku berpikir, sepertinya perempuan bernama Kulsum ini perlu diberi tuntunan yang baik dan sepertinya ia masih bisa diajak berdiskusi untuk mendapatkan yang terbaik. Ini kenyataan yang sedikit membesarkan hati, membuatku tidak terlau merasa asing di rumah ini. Bahwa disisni masdih ada seseorang yang masih mungkin dimanusiakan” (hlm 124).
Perjuangan Annisa untuk memperjuangkan nasibnya dan perempuan itu mendapat dukungan penuh dari banyak kalangan, khususnya Lek Khudori, yang dikemudian hari setelah Annisa cerai dengan Samsudin akhirnya menjadi suami Annisa.
Pengalaman dan penderitaan masa lalu, menjadi pelajaran berharga bagi seseorang untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Demikian itulah yang dialami oleh Annisa. Atas saran Lek Khudori, Annisa meneruskan sekolahnya hingga perguruan tinggi. Di tingkat inilah Annisa aktif mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita.
Melalui kegiatan-kegiatan itulah, Annisa belajar organisasi, manajeman, menguasai
massa
dan juga lobbying. Selain kuliah, Annisa juga tak lupa mengikuti kursus bahasa asing di sebuah college. Dengan seabrek kegiatan dan pengalaman pribadi serta hasil diskusi dengan Lek Khdori, Annisa tampil menjadi seorang feminis yang mumpuni..
Annisa dan Lek Khudori juga memotret secara nyata, bahwa kehidupan yang tidak saling memaksa, dan didasari oleh nilai-nilai cinta, akan menghasilkan kehidupan yang harmonis dan membahagiakan satu sama lainnya. Kehidupan bahagia antara Annisa dan lek Khudori dimulai dari pernikahan mereka. Trauma yang dialami oleh Anniasa semasa menjadi istri Samsudin, mengakibatkan malam pertam lek Khudori dan Annisa tertunda beberapa hari.
Namun atas persetujuan dan diskusi, keduanya rela menunda hubungan badan hingga beberapa hari, dan justru hubungan yang dilandaskan atas saling diskusi dan persetujuan itu, menghasilkan kehidupan yang bahagia dan harmonis yang membuat iri teman-teman Annisa.
Hal yang sama juga dilakukan untuk menentukan masa kehamilan. Antara Annisa dan Lek Khudori selalu mendiskusikannya dengan saling membuka diri satu sama lainnya. Sehingga akhirnya, ketika Annisa sudah siap untuk hamil dan mengasuh anak, kehamilan itupun terjadi atas kehendak-Nya.
Perempuan Berkalung Surban secara nyata memotret kondisi sosial masyarakat
kota
, yang sangat patriarkal dan melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Atas kondisi ini, Perempuan Berkalung Surban dengan jelas memotret adanya perjuangan feminisme yang menuntut adanya persamaan hak dan kesetaraan gender antara kaum perempuan dan laki-laki.
DAFTAR BACAAN
El Khaliqy, Abidah. Perempuan Berkalung Surban. 2001. Yayasan Keluarga Fatayat. Yogyalarta
Eleanora wieringa. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. 2001.Garda Budaya.jakarta
Faruk. Sosiologi sastra.1994. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Fakih, mansur. Transformasi sosial. Insist.
Yogyakarta
Illich, Ivan. Matinya Gender. Bentang.
Yogyakarta