Malam itu langit kembali mengguyurkan keringatnya, mungkin karena lelah bekerja seharian penuh. Ia nampak muram, temannya yang bernama bulan dan bintang pun enggan mengajaknya menari, daun-daun bercengkerama dengan katak malam, mereka saling membisikkan sesuatu.
Hujan belum juga mereda, ketika Siti Mariyah, gadis desa yang menikah sebulan yang lalu dengan seorang pengusaha muda mulai terkantuk –kantuk sambil memijit punggung suaminya yang baru saja pulang kerja.
“ Dik, kalau kamu ngantuk mendingan kamu tidur dulu?”
“ Oh, e e enggak mas, aku masih kuat kok mijitin mas Budi sampai pagi.”
“ sst ( sambil membalikkan badan), jangan dipaksa, entar kamu malah sakit, trus besok nggak ada yang buatin aku sarapan.”
“ mas Budi tenang saja, itu sudah jadi kewajiban aku sebagi seorang istri.”
“ Dik, kamu terlalu baik buat aku, tidak salah aku mengawinimu.”
“ Justru aku yang bersyukur karena mendapat suami seperti mas.”
Kemesraan itupun tak terhenti hingga pagi tiba.
Adalah keberuntungan bagi Siti, begitu suaminya menyebut namanya, karena menikah dengan Budi. Seorang pemuda dari
kota
yang berpawakan bagus, tampan, sudah bekerja di sebuah bank pemerintah, dan dari keluarga baik-baik. Siti adalah gadis desa lulusan sekolah menengah. Mereka dijodohkan oleh orang tua mereka lewat saudaranya Budi. Setelah bertemu ternyata keduanya memang sama-sama cocok, akhirnya keputusan untuk menikahpun dilaksanakan sebulan setelah perkenalan itu.Memang terlihat singkat, namun keduanya selalu saja berusaha untuk mengenal lebih dekat, Budi seorang pemuda yang tampan pun harus berkorban meninggalkan Rina, pacarnya sebelum kenal dengan Siti. Budi melihat bahwa perempuan seperti Sitilah yang bisa dijadikan sebagai pendamping hidup, bisa mengatur anak, sekaligus melayani dirinya.
Setelah menikah mereka memutuskan untuk hidup pisah dengan orang tua mereka, Budi telah mengontrak sebuah rumah sederhana di pinggir
kota
, yang dekat dengan tempat kerjanya. Dengan penuh bijaksana Siti selalu melayani suaminya yang baik itu, ia tidak pernah mencampuri urusan suaminya, ia sangat percaya pada suaminya.Demikian juga dengan Budi yang selalu menyayangi istrinya, baginya hanya Sitilah orang yang patut dihargai. Ia selalu memberikan keleluasaan bagi Siti untuk melakukan apa saja yang disukai, asalkan itu bisa membahagiakannya. Hubungan mereka begitu harmonis, Budi tidak pernah telat pulang, dan Siti selau siap menyambut suaminya pulang, dengan berdandan tipis, dan menyiapkan makanan untuk suaminya. Tetangga mereka pun banyak yang iri melihat kebahagiaan mereka.
“Aku sangat mencintai suamiku.” Begitu kata Siti di sebuah pertemuan reuni SMU. “Dia sangant baik, pengertian dan romantis.”
“ eh, Sit, kamu itu beruntung sekali ya dapat suami yang begitu tampan, baik dan kaya, tidak seperti pacarku, yang sukanya mabuk-mabukan, main perempuan, ih kapan ya aku bisa putus sama dia, kalau kamu ketemu dengan orang yang seperti suamimu, tolong dong, aku dikenalin.” Kata Dewi, sahabat karibnya saat sekolah di SMU itu.”
“ Iya ,ya, gimana sih kamu bisa kenal dia, kok kayak kejatuhan bulan aja, padahal kamu
kan
orangnya kuper, nggak pernah gaul, eh tiba-tiba aja ada yang nglamar, seperti itu lagi.” Timpal yuni, teman sekelasnya juga.Begitulah, kebahagiaan mereka sepertinya tidak akan berakhir. Yang ada hanya damai, senyum, dan keceriaan
“ Siti begitu membuat aku yakin bahwa kebahagiaan kami akan abadi, meskipun dia hanya sebagai ibu rumah tangga, tapi dia seorang istri yang pintar dalam mengatur uang, aku bangga memilikinya.” Demikian kata Budi ketika ia bertemu kakaknya di sebuah restoran saat ia makan siang.”
“ Syukurlah jika seperti itu keadaanmu, aku ikut senang. Aku rasa kamu sudah cukup menikmati masa mudamu dengan memiliki banyak pacar, tapi aku harap yang ini jangan kau sia-siakan.”. kata kakanya.
***
Gaunnya berwarna merah muda, tipis memang, setiap mata yang melihat dapat dipastikan mengagumi keindahan tubuhnya yang sangat ideal. Kakinya yang beralaskan sepatu perak dengan hak tinggi itu melangkah dengan cepat dan mantap, cara ia berjalan menunjukkan bahwa dia memiliki status yang tinggi. Tak lama kemudian ia telah memasuki ‘roxy” cafĂ©, sebuah tempat hiburan kaum exekutif muda untuk melepaskan lelah karena sibuk bekerja. Dag, dig, dug suara musik malam itu benar-benar telah menghanyutkan puluhan orang dalam pelarian yang tak berujung, mereka semua lepas dari masalah-masalah yang biasanya menggeluti.
Tangannya memegang sebuah gelas berukuran kecil. Matanya tak henti-hentinya berekelana ke segala arah. Yang tampak hanya beberapa pasangan yang sudah terbang menuju dunia lain. Raut mukanya yang tadi selalu dipenuhi senyuman lebar kini mulai mengendur, muram.
Sudah 2 jam ia duduk disitu, seseorang yang ia tunggu belum muncul juga. Tangan dengan jarinya yang lentik kemudian mengambil handphone dari sakunya, ia memencet sepuluh digit angka yang sudah dua bulan ini sangat ia hafal.
“ Uh, sialan, dimana sih ini orang, tulalit lagi” matanya memerah, memunculkan kekesalan yang amat sangat.
Dua hari yang lalu, perempuan itu, yang biasa dipanggil Dara memang sudah membuat janji dengan seorang laki-laki, sebut saja pacarnya. Mereka adalah pasangan yang sama-sama mencari kenikmatan diluar rumah yang bisa mereka namai penjara. Diantara mereka telah ada komitmen, mereka hanya akan senang-senang jadi tidak akan ada tindak lanjut dari hubungan mereka. Sayangnya, ia juga mendengar kabar, bahwa laki-laki itu telah insyaf, dan kembali pada istrinya, tapi ia tak percaya.
Tiga jam sudah, Dara menunggu kekasihnya, namun tak juga nampak batang hidungnya, dengan langkah lulai ia pulang. Sebuah taksi menghampirinya, matanya nanar, kekasihnya tak datang. Segala macam perkara datang mengerumuninya, ia tidak percaya kalau adegan dalam film dan sinetron – sinetron yang pernah ia lihat, tadi malam ia alami, hidup penuh dengan kepura-puraan.
“ Dara sayang, kamu kok sekarang kelihatan kurus sih, kamu sakit ya”, kata laki-laki yang setahun ini telah menjadikan ia berubah status, dari seorang gadis menjadi seorang istri. Istri yang kelelahan. Dulu Dara adalah seorang istri yang setia, namun kesetiannya hancur karena ia mengetahui bahwa suaminya telah selingkuh, hatinya berontak. Permata yang ia jaga selama tujuh bulan ini telah menjadi keping-keping. Tapi ia tidak berani bersuara, meskipun ia telah berkonsultasi dengan beberapa LSM, namun ia tidak juga menemukan ketenangan. Mulutnya bisu, hatinya memaki, sayang, suaminya tak pernah mendengar makian istrinya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk berkelana dengan seorang laki – laki lain, yah, sudah dua bulan ini.
“ Nggak papa kok, aku baik-baik aja, tumben jam segini kamu sudah pulang, nggak ada acara apa?”
“ Oh, aku memang sengaja mengambil cuti malam, untuk bisa seneng-seneng sama kamu, aku kangen.”
Hati Dara berdegup kencang mendengar ucapan suaminya, yang ia anggap sebagai seorang monster, entah mengapa sejak ia punya kekasih, ia selalu enggan melakukan hubungan suami istri dengan lelaki yang berperut buncit itu, jiwanya goncang. Tapi ia tidak tahu, bagaimana cara ia menolaknya. Malampun berangsut kelabu, sekelabu hati perempuan itu yang terengah-engah dalam pendakian yang tak diinginkannya.
***
Pagi ini matahari terlalu dini menyapa bumi, gumpalan air yang menggelinding di sela-sela daun dengan cepat mengering, beberapa unggas berlari menghangatkan tubuh mereka. Padahal sebenarnya orang-orang masih ingin menghabiskan waktunya di ranjang bersama suami dan istri mereka.
Adalah hebat, pikir Siti yang selama ini tak pernah adu mulut dengan suaminya, sayangnya semalam ia harus menerima hadiah besar dari suaminya, bukan tamparan ataupun tendangan. Tetapi yang ini lebih menyakitkan, sekitar pukul dua belas malam Budi pulang ke rumah dengan penuh hati-hati, suara sepatunya tak terdengar sedikitpun, Siti tertidur pulas di depan TV, tapi matanya mulai melebar ketika ada rangsangan yang datang dari telinganya. Ia mendengar seperti ada orang yang sedang bekerja dan penuh kelelahan, seorang perempuan, yah perempuan yang mengerang-erang karena kelelahan. Siti mencari sumber suara itu,antara percaya dan tidak ia tersadar bahwa suara itu datang dari kamar kecilnya yang ada di rumah bagian belakang.
***
Siti membuka matanya, ia mendapati suaminya telah ada di bibir kasurnya, kepalanya mencoba mengingat apa yang telah terjadi barusan. Belum juga ia menemukan jawabannya, air matanya telah menetes membasahi bantal putihnya. Teriakan Budi dan perempuan itu kamudian terdengar nyaring “ ugh, Dara ayo …lagi..lagi”
“Akh, maass….aku…akgh”.
***
“Apa itu setia, cinta tak butuh setia, aku muak dengan kata itu”, ucap Siti yang akhirnya kini dikagumi oleh banyak laki-laki karena kehebatannya menaklukkan semua mata keranjang itu. Malam-malam ia lalui dengan semangat yang merajang, sel-sel tubuhnya tak pernah berhenti meneriaki, “Biadab suamiku, akupun bisa menjadi lebih biadab.”
Hidupnya berubah, penuh dengan kebebasan, sangat bebas. Kelembutannya sebagai seorang istri telah hancur, ia tak lagi perduli dengan semua mata yang dulu pernah mengaguminya, dan kini tak sudi meliriknya. Baginya, ketika wanita telah begitu banyak berkorban pada suaminya dengan modal rasa setia, dan ternyata suaminya telah mengkhianatinya, maka saat itu juga telah hancur makhluk yang bernama wanita. Meskipun suaminya kini telah mengabdikan diri sepenuhnya untuk istrinya, namun hati Siti terlalu mulia untuk dinistakan, maka kehancuranpun tak mampu lagi terbendungkan.
***