“ Seks” Komoditi Penting Dalam Kancah
Biarlah tulisan ini dimulai dari semakin banyaknya kita temui teks-teks sastra (terutama novel dan cerpen) di toko-toko buku yang sebagian besar bernaung dari sebuah problema kebebasan seks. Problema seks menjadi incaran penerbit, toko buku sekaligus pembaca, yang pada akhirnya mendorong pengarang (sastrawan) untuk ikut terjun dalam dunia tersebut,dan ini memiliki peran yang cukup penting dalam sastra.
Adalah lumrah, jika seorang sastrawan menginginkan hasil karyanya menjadi sesuatu yang wah, yang disorot, sehingga banyak diminati oleh banyak orang. Dampak yang paling jelas terlihat adalah namanya yang melejit (terutama bagi penulis-penulis muda), dan royalti yang mengalir lancar. Sebagai orang yang kreatif, dan berimajinatif, tentunya sastrawan mampu mengembangkan ide kecilnya menjadi suatu hasil karya yang besar. Dibantu oleh editor dari suatu badan penerbitan, akhirnya hasil karya sastranya itu tak lagi berorientasi pada seni untuk seni tapi cenderung pada seni untuk pasar, baik dari segi pemilihan judul, yang berkesan menjebak pembaca, maupun pengembangan tema yang dimunculkan.
Entah merupakan suatu hasil perenungan dan proses kreatif yang murni atau karena melihat peluang pasar, fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah banyaknya karya sastra (terutama novel dan cerpen) yang ditulis oleh penulis-penulis muda yang sarat dengan kegairahan seks, meskipun itu bukan tema utama yang ingin disampaikan oleh penulis.. Tidak dapat dipungkiri jika memang sejak dulu seks senantiasa hadir dan mewarnai dalam kancah pernovelan di
Indonesia, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa sastra mutakhir memiliki suatu pengemasan yang berbeda mengenai seks. Seks banyak digunakan sebagai suatu kekuatan untuk pemberontakan. Seks menjadi sesuatu yang patut untuk diperjuangkan, dipertahankan dan dimuliakan, bahkan dihinakan. Bisa dikatakan bahwa seks saat ini menjadi suatu komoditi yang penting untuk menembak pasar. Tampilan seks yang vulgar dengan permainan yang sedikit banyak terbumbui oleh erotisme adalah sasaran empuk menarik pembaca untuk saat ini. Hal ini mungkin juga terinspirasi oleh banyaknya penelitian-penelitian mengenai lika-liku seks, seperti sebut saja tulisan-tulisan Moamar Emka yang akhirnya diikuti oleh penulis-penulis lain dengan tema yang tidak jauh berbeda.
Beberapa judul novel atau cerpen yang masih hangat ditelinga kita antara lain adalah Suara Perih Perempuan, Kau Bunuh Aku Dengan Cinta, Garis Tepi Seorang Lesbian, Wajah Sebuah Vagina, Jangan Main-Main (dengan Kelaminm ) dll. Novel-novel tersebut memiliki problema yang hampir sama, seperti telah disebutkan diatas yakni adanya suatu kegairahan seks. Seks seolah-olah menjadi kekuatan yang ampuh untuk membungkus alur novel tersebut menjadi sesuatu yang menarik. Dilihat dari judulnya saja, dapat kita tebak apa yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca, yang tentunya dalam penyampaian itu melalui semacam upaya, nah seks merupakan upaya yang jitu untuk menarik pembaca. Mengapa ?, karena seks menjadi tema besar dalam drama kehidupan manusia saat ini. Pikiran-pikiran manusiapun belakangan menjadi lebih seksual saking besarnya tema seks yang mendominasi kehidupan. Dalam situasi seperti ini, kekuasaanpun menjadi lebur dalam tema besar tersebut. Pemikiran seks sebagai strategi kuasa untuk mengatur dan mengkontrol hidup manusia mulai terbentur oleh perkembangan realitas yang terjadi saat ini. Nilai-nilai moral yang mencoba mengatur kehidupan seks manusia, juga semakin terbentur oleh kenyataan yang sama sekali berbeda.
Uraian diatas sedikit memberi gambaran pada kita bagaimana kehidupan seks saat ini, yang akhirnya berpengaruh juga terhadap perkembangan sastra mutakhir yang ternyata tidak sedikit memanfaatkan “seks” sebagai ruang untuk berimajinasi. Adalah benar, jika kita beranggapan bahwa Sastra adalah cermin masyarakat. Ketika sastra tersebut memiliki kekuatan untuk menggairahkan masyarakat, maka sastra itupun akan mengekor pada kondisi sosial masyarakat. Akhirnya, “seks” yang tak lagi dipandang sebagai suatu hal yang tabu, tetapi justru menjadi sesuatu yang “interest” mampu menjadi komoditi penting dalam kancah sastra Indonesia mutakhir.